Label

belajar mengajar (16) Bahan buku (12) sertifikasi guru (11) catatn guru (10) opini pendidikan (9) catatan (8) anak sekolah (7) pendidikan (7) Akuntansi (6) Bahan Belajar (6) Ekonomi Akuntansi (6) ekonomi (6) materi pendidikan (6) Bahan Pembelajaran (5) info penting (5) k13 (5) ruang guru (5) Bahan Daring Spada (4) Belajar (4) Pembukuan (4) Pencatatan (4) aceh (4) hari guru (4) kelas (4) opini serambi Indonesia (4) pendidikan aceh (4) UAN (3) UN (3) Video Pembelajaran (3) covid-19 (3) mutu pendidikan (3) nasib sekolah kita (3) pandemi (3) ruang kelas (3) sekolah (3) sekolah terpencil (3) Buku (2) DB (2) UNBK (2) Uang (2) bahan upacara (2) bedrest (2) covid19 (2) industri 4.0 (2) inspirasi (2) kemerdekaan (2) motivasi (2) pandemi covid-19 (2) pendidikan nasional (2) personal (2) pribadi perfeksionis (2) sakit (2) sosial (2) 23 juli 2020 (1) BSI (1) Bank Syariah Indonesia (1) Berbagi (1) Cara belajar (1) Daring (1) Donor darah (1) Hari anak nasional (1) Indonesia Cetar (1) K21 (1) Kehidupan (1) Lingkungan (1) MOOC (1) Muslim produktif (1) PMI (1) PMI SMAN 5 (1) PMR (1) Prince Nayef Hospital (1) anak-anak (1) artikel parenting (1) auditori (1) baha buku (1) baim Wong (1) biologis (1) bisnis muslim (1) budaya (1) budaya aceh (1) budaya tradisional (1) bulan kedua (1) candu (1) catatan pribadi (1) catatan sekolah (1) digital (1) ea digital (1) eini wulandari (1) ekonomi syariah (1) essay rini wulandari (1) fisik (1) hari guru 2023 (1) ibupedia.com. (1) ibupedia_id (1) introduction (1) jemput bola (1) kata hati (1) kedai kopi dan buku (1) kelas menulis (1) kesehatan (1) kinestetik (1) kisah burung kecil (1) kisah keseharianku di sekolah bersama siswa-siswa tercintaku (1) lomba blogger ULF 2017 (1) membuat buku (1) merdeka belajar (1) merdeka kreatifitas (1) my note (1) nasionalisme (1) opini agama (1) opini politik (1) opini tentang kopi (1) pahlawan perempuan Aceh (1) parenting (1) personal library (1) politik (1) ppg (1) refleksi hari penting (1) rumah (1) sekolah catatan (1) siswa (1) sosekbudcovid19 (1) tabunganKu (1) taktil (1) tips (1) trombosit (1) tulisan pribadi (1) typhus (1) ulang tahun BSI ke dua (1) unsyiah library (1) unsyiah library fiesta 2017 (1) upacara (1) visual (1)

Sabtu, 22 Januari 2011

Politik “Haji Gandoe”

Tue, Jan 4th 2011, 08:43

Politik “Haji Gandoe”

MEMANG, pendekatan institusionalisme dalam kajian politik selain sudah usang, juga tidak banyak membantu kita memahami gejala politik sesungguhnya terkait Raqan Wali Nanggroe. Itulah sebabnya saya menggunakan pendekatan teori tingkah laku politik, yang awalnya berkembang di Amerika sejak 50-an, sebagai pendekatan yang dianggap lebih mampu memberi informasi mengenai proses politik sebenarnya, dibandingkan pendekatan mazhab kelembagaan yang lebih banyak menyorot aspek hukum dan institusi.

Kritik David Eastonbaik patut diperhatikan, bahwa analisis hukum dan institusional tidak bisa menjelaskan kebijakan dan kekuatan karena variabel-variabel yang relevan belum terlengkapi seluruhnya. Salah satu pemikiran pokok para pelopor pendekatan tingkah laku politik adalah lebih bermanfaat bagi pengkaji untuk mempelajari manusia dan perilaku politiknya. Tingkah laku itu dapat terbatas hanya pada tingkah laku perseorangan, maupun mencakup kesatuan-kesatuan yang lebih besar seperti organisasi, kelompok elite, gerakan massal, atau suatu masyarakat politik. (Dr. Dede Mariana: 2007).



Dalam perkara Raqan Wali Nanggroe, cukup berguna menelaah perilaku politik Malek Mahmud sebagai tokoh yang dijagokan dalam Raqan tersebut untuk menjabat Wali Nanggroe, sekaligus pemimpin tertinggi partai penguasa parlemen Aceh saat ini. Perilaku politik Malek Mahmud mengingatkan saya pada cerita yang cukup populer di kampung kami tentang Haji Gandoe, cerita yang saya pikir banyak berhubungan dengan behavioral approach.

Haji Gandoe, awalnya seorang petani biasa. Suatu hari ia menghampiri hutan Tuhan dengan berbekal dua goni buah pinang tua yang siap disemai. Tetapi Haji Gandoe tidak menyemainya, tidak pula ia tahu hukum adat tentang hutan dan pembukaan seunebok (kebun) dari hutan belantara Tuhan. Haji Gandoe berdiri di tepi hutan, di tangannya ada satu ketapel, orang Aceh menyebutnya “gandoe”. Mulai lah ia menggunakan ketapel itu untuk menerbangkan satu persatu buah pinang itu, ia sebarkan ke segala arah mata angin, tanpa perlu tau di mana persisnya pinang-pinang itu mendarat.

Hingga 5 tahun kemudian, ia datang melihat di mana saja pinang itu tumbuh, maka segera ia membuat pagar mengelilingi sebagian hutan itu yang di dalamnya tumbuh pinang. Haji Gandoe membuat klaim atas hutan itu kini telah menjadi miliknya karena buah-buah pinang yang ia sebarkan melalui ketapel lima tahun lalu telah tumbuh dan berbuah. Bertahun-tahun ia memanen pinang itu sampai ia mampu menunaikan ibadah haji dari kebun pinang yang diklaimnya dengan cara tak biasa dari sisi hukum adat gampong-gampong di Aceh. Petani itu kini telah menjadi haji, berkat klaimnya atas hutan Tuhan dan tanaman yang tidak dipeliharanya. Ia hanya memagar secara serampangan dan memanennya bertahun-tahun. Pastinya Haji Gandoe bukan tidak berusaha, tapi usaha “cilet-cilet” itu tidak membuatnya absah mendeklarasi diri jadi pemilik kebun pinang seluas itu.

Akal sehat saya sulit mengerti bagaimana mungkin perilaku Haji Gandoe dapat diterima? Pertanyaan yang sama sekarang muncul dalam benak saya setelah membaca Raqan Qanun Wali Nanggroe, bagaimana mungkin ada manusia yang tiba-tiba merasa menjadi pemilik Aceh? Rasionalisasi apa yang bisa dilakukan oleh Malek Mahmud sehingga kita merelakan jabatan Wali Nanggroe harus diserahkan kepadanya untuk masa seumur hidup tanpa pemilihan rakyat?

Perasaan menjadi pemilik Aceh sepertinya mulai menghinggapi Malek Mahmud dan para pengikutnya sejak mereka dibenarkan menandatangani- atas nama bangsa Aceh-klausul perjanjian berdamai dengan Pemerintah Indonesia. Tetapi kemudian ia lupa bahwa Aceh selepas perjanjian itu harus diurus bersama oleh berbagai elemen masyarakat Aceh sendiri. Tidak ada seorang pun yang boleh bertindak seperti Haji Gandoe.

Disorientasi
Di antara elemen penting lainnya yang diamati dalam studi perilaku adalah orientasi politik.Perebutan pemerintahan dan penguasaan atas sumberdaya di Aceh pasca perjanjian damai telah mendorong terjadinya disorientasi politik secara massif di kalangan para pejuang, tak terkecuali figur-figur yang pernah dikeramatkan sebagai rujukan tertinggi dalam organisasi perjuangan. Tokoh besar sekelas Malek Mahmud ternyata hidup dengan daya “resilience” yang sama rentannya dengan politisi Aceh kebanyakan. Terserang “badai” kemewahan sedikit kencang, lansung tumbang.

Dulu Aceh ingin dibebaskan dari penindasan dan segala budaya kolonial. Deklarasi Stavanger memproklamirkan Aceh akan diurus dengan sistem demokrasi, sekualitas demokrasi di negara-negara Eropa tempat persembunyian petinggi-petinggi GAM. Rakyat Aceh akan dijadikan tuan di tanahnya sendiri, rakyat akan terlayani. Hak-hak asasi manusia akan dipenuhi. Sebagian dari orientasi-orientasi mulia ini masih terlihat dalam klausul perjanjian damai di Helsinki. Lepas dari kelemahan agreement itu di sana sini. Kita diberitahukan Malek Mahmud menolak tegas tawaran RI, dalam perundingan Helsinki, untuk menetapkan Gubernur Aceh otomatis dari GAM selama beberapa periode tanpa pemilihan rakyat. GAM membuktikan komitmennnya pada demokrasi.

Tragisnya kini, orientasi politik mulia itu tinggal kenangan. Sejak kekalahan kubu Malek Mahmud (H20) dalam Pilkadasung Gub-Wagub 2006, ia mulai merasa terancam secara politik kekuasaan. Hingga perlu diselenggarakan sepaket strategi untuk mengamankan kekuasaannya atas Aceh, untuk menjadi pemilik absolut atau raja. Perilaku ini dapat dilacak mulai dari pembumihangusan kekuatan partai-partai lokal lain selain partainya hingga upaya mengamankan posisinya menjadi Wali Nanggroe seumur hidup. Jabatan yang akan diwariskan kepada orang-orang kepercayaannya kelak. Disorientasi politik Malek Mahmud bersama mantan para pejuang lainnya hanya dapat diobati dengan hukuman rakyat sebarat-beratnya atas mereka. Sebuah hukuman yang dapat mengajarkan bahwa mereka bukanlah siapa-siapa saat hendak berkuasa tanpa pelimpahan mandat dari rakyat. Sebuah hukuman yang dapat mengobati segala perilaku politik peniruan ajaran sekte Haji Gandoe.

* Muhammad MTA  adalah peminat kajian politik dan kebijakan publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Merdeka Belajarnya, Merdeka Kreatifnya, Semakin Kuat Komitmennya!

by rini wulandari-gurusiswadankita Ini bukan semboyan, tapi tema peringatan hari guru 2023 kemarin. Semakin kesini, harapan kita untuk perba...