Oleh Rini Wulandari, SE
Jika usia Pendidikan Aceh diukur sejak 2 september 1959, usai Presiden Soekarno meletakkan batu pertama Kota Pelajar Darussalam dan diikuti peresmian Fakultas Ekonomi sebagai fakultas pertama, maka setidaknya usianya kini menjadi 59 tahun. Usia kepala lima dalam ukuran usia manusia yang tidak lagi muda, namun telah menjelma menjadi ‘pendidikan Aceh’ yang dewasa.
Layaknya manusia, ada pasang surut ketika melewati masa merangkak, berdiri,
berjalan. Ada kalanya jatuh dan bangun, namun itu adalah dinamika yang normal.
Begitupun dengan nasib masa depan pendidikan Aceh. Kelahiran dua civitas
akademika Aceh, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) dan IAIN yang kini telah menjelma
menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry adalah buah manis, atau karya
besar tokoh-tokoh pendahulu Aceh di bidang pendidikan, seperti disebut
Pelaksana Tugas Gubernur Aceh, Nova Iriansyah.
Dan seperti dikatakan oleh banyak orang, tugas menjaga dan meneruskan
perjuangan adalah tugas lebih berat dari kerja rintisan awal tersebut. Kerja
berikutnya akan berhadapan dengan banyak rintangan. Tidak hanya persoalan pola
pikir (mindset), budaya, namun juga perbedaan pendapat dalam memilih kebijakan
dan strategi mana yang harus didahulukan untuk mencapai hasil yang terbaik. Apalagi
jika rintangan tersebut berhadapan dengan persoalan politik, pastilah akan
menjadi lebih rumit dan pelik.
Menjawab tantangan
Meskipun pemberlakuan UU No.23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
mengatur kewenangan dalam penyelenggaraan pendidikan, namun dalam menyikapi
regulasi tersebut diperlukan upaya untuk meningkatkan kualitas koordinasi
antarjenjang pemerintahan, agar perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan menjadi
sinergi yang saling menguatkan.
Kini tantangan pendidikan Aceh menjadi semakin berat, terutama ketika
perubahan waktu, tidak saja merubah pola pendidikan namun melahirkan generasi
yang berbeda jauh dengan generasi sebelumnya. Generasi yang harus bergerak
cepat mengikut zaman yang popular dengan sebutan generasi Z atau generasi milenial,
sebagai kelanjutan generasi Y.
Kita tentu masih ingat bagaimana kita tertatih, di tahun 2015-2016, ketika
hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) menunjukkan peringkat kompetensi guru Aceh
berada pada urutan tiga terendah secara nasional. Lalu pada tahun 2016 Aceh menempati peringkat 23 nasional. Kemudian secara perlahan bangkit berada pada urutan 15 nasional
pada tahun 2017, berdasarkan data Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB),
uji kompetensi guru yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia (Kemendikbud RI).
Perkembangan itu menunjukkan bagian dari etos kerja yang dilakukan
pemerintah Aceh untuk mengejar berbagai ketertinggalan bidang pendidikan yang
ada. Apalagi ketika pemerintah secara serius memilih tema besar Hardikda
dengan “Aceh Carong Menuju
Era Industri 4.0”. Pemilihan tema ini, seperti diamanatkan oleh Plt Gubernur Aceh, agar dapat mengakselerasi
target capaian pembangunan bidang pendidikan agar sesuai dengan target pendidikan nasional.
Di dalamnya memuat dua tantangan besar, yaitu: Kesatu; Melanjutkan kerja-kerja mengejar ketertinggalan dan,
Kedua; Mengatasi tantangan besar millennium baru, generasi Z, generasi yang terhubung dengan kecepatan gerak perubahan karena mengacu pada perkembangan tehnologi yang kian pesat.
Apa langkah dan strategi jitu yang harus dipikirkan oleh pemerintah Aceh
terutama dalam bidang pendidikan untuk mengatasi dua tantangan besar tersebut?.
Langkah pertama, mengejar ketertinggalan, adalah dengan
pengembangan sumber daya manusia yang harus memiliki etos kerja yang berdaya
saing, disamping melengkapi dengan pembangunan fisik yang terprogram secara
baik. Maksudnya, meskipun untuk kondisi Aceh saat ini, pembangunan fisik tidak
termasuk dalam kategori kekurangan, namun beberapa arah pembangunan fisik yang
seringkali luput adalah infrastruktur pendukung pendidikan yang tidak kalah
penting.
Kita sering melihat di layar televisi, anak-anak menyeberangi sungai hanya
sekedar untuk bersekolah dan dibeberapa kabupaten di Aceh masih ditemukan
anak-anak bersekolah dengan fasilitas rakit yang sudah berlangsung puluhan
tahun dan puluhan generasi yang berganti. Semestinya kasus seperti ini menjadi
perhatian utama bagi pemerintah di daerah untuk memasukkan dalam agenda
pembangunan setiap tahunnya. Rasanya tidak mungkin jika pemerintah di daerah
tidak menyadari kondisi tersebut.
Kondisi tersebut dapat mengganggu proses belajar dan mengajar bagi anak
didik dan pengajar yang bersemangat untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi. Sehingga tidak menjadi alasan bagi siapapun yang bermotivasi untuk
bersekolah tinggi terkendala hanya karena faktor infrastruktur yang tidak ramah
pendidikan tersebut.
Usaha lain yang harus menjadi prioritas adalah memaksimalkan pendayagunaan
sarana dan prasarana yang sudah tersedia, misalnya sekolah di kampung yang
dibangun dengan dana besar, ternyata kemudian terbengkalai. Jika faktornya
adalah kelangkaan murid, pemerintah tentu harus lebih jeli melihat fenomena
ini. Termasuk dengan lahirnya kebijakan pemerintah yang menegaskan tidak adanya
sekolah unggul dan sekolah underdog. Karena hal ini menjadi salah satu
akar persoalan lemahnya penerimaan masyarakat terhadap sebuah sekolah karena
cap unggul atau tidak unggul, sekolah kampung dan sekolah kota.
Pemerataan tenaga pengajar menjadi persoalan yang harus diantisipasi secara
ketat, termasuk dengan rencana penerimaan seribuan tenaga pengajar baru di tahun 2018, yang harus
dikaji secara tepat untuk mengatasi beberapa persoalan pendidikan
Aceh sekaligus. Baik persoalan
kelangkaan murid karena faktor ketidaktersedian guru di daerah terpencil,
maupun kualitas sekolah yang tidak sesuai standar karena faktor ketiadaan guru
berkualitas dan kurangnya sarana prasarana. Tenaga lulusan baru (fresh graduate)
atau guru honor yang telah mengabdi dan memahami situasi dan kondisi daerah
dengan dedikasi dan komitmen harus menjadi pertimbangan yang kuat untuk memutus
rantai ketertinggalan pendidikan Aceh agar terjadi pemerataan.
Selanjutnya, kebijakan pemerintah Aceh, dengan 20 cabang dinas pendidikan
di kabupaten/kota adalah salah satu langkah strategis yang harus didukung dalam
memutus mata rantai birokrasi yang menjadi salah satu sebab mengapa pendidikan
di Aceh tidak merata dan cenderung jalan di tempat. Diharapkan dengan kehadiran
cabang baru tersebut tidak membuat pendidikan Aceh bertambah rumit. Berbagai
permasalahan dengan cepat dapat terdeteksi, dan kebutuhan dana yang paling
prioritas dapat ditentukan dengan cepat, sehingga persoalan seperti “jembatan
asa”, seperti yang dirintis sebuah televisi swasta dapat menjadi salah satu
perhatian pemerintah. Jika tidak dapat dipenuhi dari dinas tersebut, mungkin dapat
menjadi proyek lintas dinas yang saling
terintegrasi, seperti dengan Dinas Prasarana Umum (PU).
Sedangkan tantangan kedua, dalam hubungannya dengan perkembangan generasi
yang terus ditantang perubahan yang cepat, harus dibekali dengan dasar-dasar
nilai-nilai spiritual, sebagaimana salah satu prioritas yang telah digagas oleh
Pemerintah Aceh yaitu Kurikulum Pendidikan Aceh yang akan di-launching
pada acara puncak peringatan Hari Pendidikan Daerah Aceh (Hardikda) ke-59, 2
september 2018 yang telah mendapat persetujuan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
RI. Didalam kurikulum tersebut, konten pelajaran agama Islamnya akan mencapai
20 persen. (SI; 1/9/2018).
Dibutuhkan langkah sinergis antar penyelenggara kewenangan dalam menjalankan
gagasan besar Aceh Carong, Aceh Meuadab yang intinya adalah Aceh Hebat,
terutama bagi penyelenggara pemerintah periode 2017-2022 yang telah dititipi
amanah besar untuk membangun Aceh Hebat tersebut. Berbagai gerakan inovatif
setidaknya akan menjadi langkah berkelanjutan untuk mempercepat pencapaian
target mendewasakan pendidikan Aceh kita, agar tidak tertinggal langkah
dibelakang propinsi lain yang juga menawarkan jargon pembangunan yang kurang
lebih sama dengan kita. Krue semangat untuk pendidikan Aceh yang semakin
dewasa.
Rini Wulandari, SE
Guru SMA Negeri 5 Banda Aceh
Jl. Hamzah Fansuri 3 Darussalam
Banda Aceh
gurusiswadankita@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar